Senin, 02 Juli 2012

Kisruh Buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong

Penerbitan buku Chairul Tanjung Si Anak Singkong tulisan wartawan senior Kompas Tjahja Gunawan Diredja diwarnai insiden internal penulis. Inu Febriana, ghost writer buku itu meledakkan emosinya dalam 84 kultwit di akun twitter @IFnubia pada Sabtu, 1 Juli 2012. Dari situ permasalahan internal akhirnya masuk ke ranah publik.

Apa sebenarnya masalah utama buku itu? Apakah soal pembayaran royalti? "Ya betul, soal royalti. Sampai sekarang saya pun belum menerimanya karena penerbit juga memerlukan waktu untuk menghitung nilai dari jumlah buku yang terjual," kata Tjahja dalam pesan tertulis kepada VIVAnews, Selasa, 3 Juli 2012.

Menurut Tjahja, dirinya sejak sepekan lalu berupaya menemui Inu tapi tidak juga berhasil. Tjahja baru bisa bertemu dengan ibunda Inu untuk membicarakan masalah ini. "Pak CT sudah tahu soal ini dan sudah memberikan tanggapan kemarin," jelas Tjahja.

Bagi Tjahja, ini adalah pelajaran bagus bagi dirinya. "Ke depan, untuk mengerjakan apapun termasuk penulisan buku harus dibuat kesepakatan tertulis termasuk dengan sahabat sendiri," tegas dia.

Dalam perbincangan dengan VIVAnews, Inu yang sudah menjadi ghost writer dari sekitar 20 buku ini mengaku permasalahan ini bukan soal royalti. Pria yang hobi bersepeda ini membantah keras bahwa ini semata-mata hanya royalti. "Sama sekali bukan soal royalti," tegas Inu kepada VIVAnews, Selasa 3 Juli 2012.

Sejak awal, Inu menyadari konsekuensi sebagai ghost writer bahwa namanya tidak akan ditulis dalam buku itu. Tetapi di tengah jalan, Inu yang berkonsultasi dengan ibunya akhirnya berubah sikap atas saran sang ibu.

"Penulisan buku Pak CT itu saya anggap lumayan berat. Kenapa? Karena penulisan biografi itu biasanya dilakukan tim ahli. Ada ahli politik, pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya. Nah ini saya lakukan sendiri," tegas dia.

Inu akhirnya meminta namanya ditulis dalam buku sebagai asisten penulis atau apapun. Inu mengaku bahwa Tjahja setuju untuk mencantumkan namanya dalam buku. Kesepakatan itu berubah saat keduanya membahas royalti pada 20 Juni 2012. Pembahasan royalti saat itu tidak menemui jalan keluar.

"Mas Gun minta lebih besar, saya bilang tidak bisa begitu karena saya yang kerja. Akhirnya dia bilang nama saya tidak dicantumkan. Sama sekali tidak ada," ungkap Inu. Suasana panas itu akhirnya mereda keesokan harinya karena Tjahja sepakat menuliskan nama Inu di "ucapan terima kasih".

"Namanya ada di buku kok. Itu sebagai bentuk penghargaan," kata Tjahja.

Di akhir kesepakatan, Tjahja mengatakan dirinya berkomitmen membagi 50:50 dari royalti yang diterima. Pembagian royalti ini juga dibenarkan Inu. "Itu betul berdasarkan kesepakatan akhir. Tapi perlu diperjelas, permasalahan utama ini bukan soal royalti meski saya tak munafik membutuhkan itu," jelas Inu.

Bagaimana tanggapan Chairul Tanjung soal kisruh penulis bukunya? Selengkapnya.
Buku biografi "Chairul Tanjung Si Anak Singkong" yang baru saja diluncurkan menuai kontroversi. Buku yang ditulis wartawan Kompas, Tjahja Gunawan Diredja, ini mendadak ramai dibicarakan karena munculnya pengakuan Inu Fabiana di media sosial bahwa dirinya yang menulis buku tersebut

Inu melalui akun twitter-nya, @ifnubia, membeberkan berbagai hal mengenai penulisan buku tersebut. Inu merasa kecewa karena namanya tidak dicantumkan sesuai permintaannya. Padahal, menurut Inu, yang menulis buku tersebut adalah dirinya.

Tjahja menjelaskan bahwa ia memang meminta bantuan Inu mentranskrip wawancara narasumber untuk kepentingan pembuatan buku tersebut. Ia membantah Inu merupakan ghostwriter buku tersebut.

Chairul Tanjung sendiri mengaku telah mendengar kontroversi tersebut. Untuk mengapresiasi kerja Inu, lanjut Chairul, dalam buku tersebut juga sudah ditulis ucapan terima kasih karena telah membantu mentranskip hasil wawancara. Ia mengerti apa yang dituntut oleh Inu adalah masalah royalti dari buku tersebut.

"Sebenarnya yang diributikan masalah royalti dan mas Tjahja belum terima royalti. Apa yang mau dibagi? Jadi jangan berprasangka buruk, saya sudah minta mas Tjahja menemui yang bersangkutan untuk diselesaikan baik-baik," katanya dalam diskusi buku tersebut di Jakarta, Senin, 2 Juli 2012.

Tjahja mengaku telah mengenal CT, panggilan akrab Chairul Tandjung sejak 1995 lalu saat masih liputan di perbankan. Pada 1997 Indonesia memasuki krisis moneter, banyak bank limbung, namun Bank Mega yang dimiliki CT justru mampu memberikan pinjaman antar bank yang bunganya tinggi. "Pak CT waktu itu bilang ini berkah bagi Allah dan bersyukur dengan membuat program Mega Berbagi," katanya.

Seiring berjalannya waktu, Tjahja menilai sosok CT sebagai seorang pengusaha sukses harus ditulis dalam buku agar dapat menginspirasi anak muda. Tjahja  memulai riset untuk buku autobiografi CT sejak Agustus 2010 dan menghabiskan waktu enam bulan untuk menulis. Metode penulisan dalam buku ini pun diambil dari wawancara orang-orang di sekitar CT dari kecil, SD, SMP, SMA, kuliah hingga rekan-rekan bisnisnya.

"Pak CT tidak mau cerita dari versi dia, tapi dari orang lain, dari teman SMP-SMA-kuliah, hingga teman bisnis, termasuk anggota Komite Ekonomi Nasional. Banyak narasumber yang saya gali penilaiannya tentang CT," ujarnya.
 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons