Senin, 02 Juli 2012

Ketika Yobeh Membuka 'Cadarnya'

Yobeh adalah satu dari 24 desa adat di Danau Sentani, Kab Jayapura, Papua. Tak sampai sebulan lalu desa ini menyambut wisatawan, membuka adat dan budaya yang disimpan erat-erat. Ibarat wanita, Yobeh telah membuka cadar.

Saya melihat perahu kayu yang dijejali warga berpakaian Khombou, pakaian adat Papua dengan baju dari kulit kayu dan rok berbahan jerami. Baik di laut maupun darat, mereka menyambut rombongan wartawan dengan sumringah. Tarian Onomi Foimoy (Selamat Datang) diiringi nyanyian dengan ritme cepat dan menghentak.

Mereka menari dengan senyum mengembang. Para lelaki termasuk anak kecil belepotan cat putih di tubuh dan wajah, sementara yang wanita menari cantik di belakangnya. Dedaunan menggantikan fungsi pompom yang biasa digunakan oleh pemandu sorak.

Selamat datang di Yobeh, desa adat yang menempati salah satu pulau mungil di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.

Saya menyambangi desa ini pada Kamis (22/6/2012) lalu, tepat saat berlangsung Festival Danau Sentani (FDS) 2012. Andre, sang pemandu Sentani Lake Tour tak menjelaskan apa-apa tentang desa adat ini. Tak seperti sebelumnya di mana ia bercerita panjang lebar tentang Desa Asey yang punya kerajinan kulit kayu, atau Desa Abar yang identik dengan pembuatan gerabah.

Ada sedikit kekhawatiran saat menginjakkan kaki di dermaga yang tampak rapuh, mengingat sebelumnya tari Onomi Foimoy digelar di situ. Namun masyarakat Danau Sentani punya rahasia terkait ini. Mereka menyebutnya: kayu besi. Kayu jenis ini digunakan oleh seluruh desa adat sebagai pondasi bangunan di pinggiran pulau. Disebut kayu besi karena sifatnya yang sangat kuat layaknya besi. Semakin terkena air, kayu ini semakin mengeras.

Seperti pulau-pulau lain di Danau Sentani, Desa Yobeh punya gereja peninggalan kolonial Belanda. Gereja Bethel Yobeh ini masih digunakan sebagai tempat beribadat masyarakat setempat, terutama pada Minggu pagi. Petualangan dimulai dari titik ini.

Di pelataran gereja terdapat Batu Begal, terletak di sebuah ceruk yang tampak sengaja dibuat. Batu itu terbelah dua, mewakili kaki kiri dan kanan. Konon, batu ini adalah tempat pemimpin perang meniup Triton, alat musik khas Papua yang terbuat dari cangkang kerang. Tiupan Triton adalah pertanda bagi para pria untuk bersiap terjun ke medan perang.

Masyarakat Danau Sentani akrab dengan perang, serta sempat diduduki oleh sekutu pada Perang Dunia II. Para pria menjunjung tinggi konsep perang, membuat alat-alat terkait perang, menyesuaikan beragam hal untuk keperluan perang. Bahkan hal ini terbawa hingga sekarang, ketika perahu milik pria berukuran lebih kecil karena memudahkan saat perang.

Bergerak ke tengah desa, terdapat batu sakral lain bernama Ondi Fnarkoi. Ini adalah batu tempat dinobatkannya Kepala Suku.

Desa Yobeh adalah "the next" Baduy, Tana Toraja, Lembah Baliem. Dalam jangka waktu pendek maupun panjang, wisatawan akan berbondong-bondong menyambangi desa ini untuk memotret Tifa keramat atau memegang tombak sakral. Desa Yobeh telah membuka cadar.

Satu hal yang sangat kentara saat kedatangan kami ke Desa Yobeh adalah keterbukaan masyarakat setempat. Mereka percaya sepenuhnya kepada turis yang bisa ikut melestarikan peninggalan dan budaya mereka. Setelah ini dan seterusnya, untuk jangka waktu yang tak terbatas, semoga wisatawan menggunakan kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons